Oleh : Momo
Banyak cara memperingati Hari Pendidikan Nasional, salah
satunya melalui film. Tepat dihari perayaannya pada 2 Mei 2016 silam, film MARS rilis di bioskop Indonesia dan itu
bukan satu-satunya film bertema pendidikan yang rilis pada bulan Mei ini. Masih
ada film mengenai guru muda bernama Aisyah yang harus mengajar dipedalaman Nusa
Tenggara Timur berjudul Aisyah : Biarkan
Kami Bersaudara yang rilis pada tanggal 19 Mei 2016. Film ini diproduksi
oleh Film One Production yang sebelumnya merilis My Idiot Brother dan Sebuah
Lagu Untuk Tuhan.
Aisyah merupakan teteh-teteh
asal Bandung bergelar Sarjana Pendidikan yang ingin mengamalkan wasiat sang
Ayah bahwasanya Sarjana tingkat satu adalah yang mengamalkan ilmunya demi
kemaslahatan orang banyak. Dengan alasan itulah (Serta satu alasan lain bearoma
asmara) Aisyah menerima tawaran untuk mengajar di desa kecil di pedalaman Nusa
Tenggara Timur. Tepatnya di Dusun Denok, Kabupaten Timur Tengah Utara, NTT.
Dusun Denok sangat “istimewa” untuk gadis berjilbab ini, selain lokasinya yang
jauh dari kampung halaman serta serba keterbatasan didalamnya, penduduk Dusun
Denok mayoritas beragama Katolik. Sebagai satu-satunya guru (Mungkin juga
warga) beragama Islam disana, Aisyah tak hanya harus beradaptasi dengan
lingkungan namun juga harus meraih kepercayaan anak-anak didiknya untuk mau
diajarkan olehnya.

Dalam Aisyah : Biarkan
Kami Bersaudara, penonton layaknya membaca diary seorang Aisyah lengkap
dengan kisah-kisah perjuangannya di tempat baru yang asing untuknya. Melalui arahan
dari sang sutradara, Herwin Novianto berdasarkan naskah yang digarap oleh Jujur
Prananto, secara bertahap film ini menunjukan tantangan demi tantangan yang
Aisyah lalui dalam beradaptasi maupun dalam mengajar. Mulai dari keterbatasan
lingkungan seperti ketiadaan listrik, sinyal, bahkan sumber air yang tidak
dekat. Aisyah juga berjuang melawan stigma yang awalnya dianut oleh para
siswanya bahwa Islam dan Kristen bermusuhan. Serta Aisyah harus berjuang
memendam keinginan pribadinya seperti kerinduan dengan keluarga, gebetannya
yang bernama AA Jaya (Ge Pamungkas), hingga keinginan merayakan hari raya di
kampung halaman.
Perfilman Indonesia memiliki film yang berkisah mengenai
pengabdian serta loyalitas guru dipedalaman melalui Sokola Rimba, serta sosok tangguh bernama Sani Tawainella yang
mampu mengajarkan nilai toleransi antar agama bagi tim sepakbola kecil asal
Ambon dalam Cahaya Dari Timur: Beta
Maluku. Dengan kisah yang seperti perpaduan diantara keduanya, kini biarkan
sosok fiktif bernama Aisyah coba menginspirasi penonton. Aisyah sangat hidup
atas performa apik dari Laudya Cintya Bella. Bella dengan baik menunjukkan
transformasi logat Aisyah mulai dari gadis Bandung berbahasa Sunda hingga mampu
menggunakan bahasa khas NTT layaknya warga lokal disana. Logatnya pun tak
terasa dipaksakan, persis seperti pendatang yang dalam waktu lama tinggal
disuatu daerah. Tak hanya logat, ekspresi serta gesture Bella pun memperlihatkan kesan ‘orang baru’ di Dusun Denok
dengan sesekali memperlihatkan muka bingung, serta gerak-gerik ragu.
Lingkungan dalam proses syuting didaerah NTT memang penuh
keterbatasan dan suasana yang berbeda dari keseharian Bella yang hidup di
ibukota. Namun keterbatasan ini tak jadi penghalang bagi Bella untuk tampil
maksimal, malah semakin memperkuat karakter Aisyah yang seorang pendatang.
Walau beberapa adegan masih terasa kebingungan dan canggung terutama bila
dihadapkan oleh pemeran anak-anak asli NTT, keseluruhan akting Bella bisa
dikatakan pas memerankan Aisyah. Walau tetap terasa sama saja seperti aktingnya
di film-film sebelumnya dan tak ada hal yang istimewa selain akting dengan menggunakan
bahasa masyarakat NTT.

Perannya memang hanya sebagai pendukung, namun setiap
kemunculan Arie Kiting selalu memberikan angin segar dalam Aisyah : Biarkan Kami Bersaudara. Berperan sebagai seorang
pengemudi ojek mobil bernama Pedro, Arie Kiting mampu memberikan penampilan
yang sangat natural layaknya penduduk lokal dan dengan mudah menyatu dengan
pemeran-pemeran asli dari NTT. Bermodal profesi sebagai comic, Arie Kiting dengan mudah meraih tawa serta hati dari
penonton dan mampu mencuri panggung bernama Aisyah
: Biarkan Kami Bersaudara. Bagi saya, ini adalah akting Arie Kiting terbaik
sepanjang beliau berperan dalam film layar lebar. Dalam film, Pedro alias Arie
Kiting sering sekali berucap “Jangan Marah Bapak/Ibu”. Tenang Arie, kita tak
akan marah. Berkat Arie Kiting-lah film Aisyah
: Biarkan Kami Bersaudara punya nuansa komedi yang mampu meng-cooling down penonton.
Aisyah : Biarkan Kami
Bersaudara menggunakan setting
tempat yang cukup eksotis, hingga sayang bila tidak dieksplorasi dengan baik.
Tugas tersebut dilimpahkan kepada Edi Santoso sebagai penata kamera dan mampu
dijawab dengan tata sinematografi yang baik. Aisyah : Biarkan Kami Bersaudara mampu memberikan visual yang
cantik berkat komposisi gambar dan pergerakan kamera yang tepat. Dusun Denok
yang gersang mampu diambil dengan ciamik sehingga dalam frame terlihat kekeringan yang cantik. Grading warna terutama ketika
scene siang menggunakan warna-warna senja cenderung ke warna jingga membuat
suasana NTT dalam film Aisyah : Biarkan
Kami Bersaudara semakin panas, gerah, gersang, dan kering. Sebuah setting
yang tepat untuk memperlihatkan apa yang dilalui Aisyah tidaklah mudah.

Namun kenikmatan menyaksikan Aisyah : Biarkan Kami Bersaudara agak terganggu perihal beberapa
momen transisinya terasa kasar. Beberapa adegan diedit dengan continuity yang tak begitu nyaman
dinikmati dan terkesan melompat-lompat. Hal tersebut terasa ketika di paruh
tengah film hingga menjelang akhir. Penempatan produk sponsor terutama di awal
film ditempatkan cukup kasar. Dengan jelas dan gamblang kamera menyorot produk
shampo khusus wanita hijab dan kopi selama sekitar 2-4 detik berulang-ulang.
Tim dari Aisyah : Biarkan Kami Bersaudara
harusnya belajar bagaimana product
placement yang baik, seperti di film Surat
Dari Praha contohnya.
Terlebih adanya beberapa plot
hole serta klimaks yang cenderung kurang memukul, klise, dan agak
dipaksakan, Aisyah : Biarkan Kami
Bersaudara tampil cukup prima dalam menyajikan sebuah tontonan perjuangan
guru muda di pedalaman NTT. Aisyah :
Biarkan Kami Bersaudara punya penuturan kisah yang bertahap dengan cukup
baik, tata sinematografi yang menawan, serta didukung penampilan cast yang juga
berupaya tampil maksimal. Terutama para pemeran warga asli NTT dalam film ini.
Walau tak bisa dibohongi beberapa adegan terlihat nervous, tapi mereka mampu menyuguhkan akting yang cukup
meyakinkan. Terutama pemeran anak-anak di film ini, walau canggung namun lama
kelamaan mereka semakin nyaman. Bahkan keluguan mereka sesekali mampu mengundang
tawa penonton.
Labels: Aisyah, Aisyah:Biarkan Kami Bersaudara, Film, FILM INDONESIA, Gudang Film, Review