Oleh : Momo
Sutradara sekaligus penulis naskah, Jeremy Saulnier tahun 2015
lalu mendapatkan kesempatan kedua melakukan World
Premiere melalui filmnya yang berjudul Green
Room di festival film paling bergengsi di dunia, Cannes Film Festival. Setelah
sebelumnya pada 2013 silam, Jeremy Saulnier berhasil memukau publik Cannes
dengan film thriller balas dendam
berjudul Blue Ruin. Kali ini, Mr.
Saulnier kembali bermain-main dengan genre
thriller. Sukses melakukan World Premiere di Cannes Film Festival
serta berkeliling festival film lainnya, akhirnya pertengahan Mei ini pecinta
film Indonesia berkesempatan menonton Green
Room di layar lebar.
Green Room dibuka
dengan tampilan sebuah band Punk Rock
asal Arlington bernama The Ain’t Right
yang sadar dari tidur mereka di sebuah ladang jagung. Selebihnya penonton akan diperkenalkan
dengan band yang beranggotakan Pat (Anton Yelchin), Reece (Joe Cole), Sam (Alia
Shawkat), dan Tiger (Callum Turner) yang terlihat lusuh setelah perjalanan
panjang berhari-hari serta pola tingkah mereka seperti mencuri bahan bakar dan berbagi
satu handphone yang sama. Hingga
pertemuan dengan Tad, seorang jurnalis berpenampilan punk membawa kuartet The Ain’t Right kedalam sebuah acara
pertunjukkan musik dipedalaman hutan Oregon. Tentu saja The Ain’t Right memiliki kesempatan “manggung” disana, namun mereka
tampil ditengah sebuah komunitas Neo Nazi dimana mayoritas pria disana
berkepala botak plontos ala skinhead
dan aksesoris seperti lambang swastika berada disudut-sudut tempat pertunjukkan
kecil dan terpencil tersebut.
Awalnya The Ain’t
Right hanya membuat kegaduhan “kecil” kala mereka dengan liar meng-cover lagu Nazi Punks Fuck Off dari Dead Kennedy. Kali ini mereka hanya mendapat lemparan botol dan caci maki
serta ludahan dari penonton. Namun bukan itu masalah besar yang menjadi konflik
utama dalam Green Room. Masalah besar timbul ketika Pat yang kembali keruang
singgah mereka (Green Room) untuk
mengambil handphone dan tak sengaja berada
di TKP sebuah pembunuhan terhadap seorang gadis skinhead. Disinilah konflik dimulai, disatu sisi personil The Ain’t Right bersama kawan dari korban
pembunuhan bernama Amber (Brit Imogen Poots) terkunci sekaligus berlindung didalam
Green Room. Sementara disisi luar Green Room, sang pemilik tempat, Darcy
(Patrick Stewart) beserta kelompoknya terutama Gabe (Macon Blair, bintang dalam
Blue Ruin) terus memberikan penawaran
negosiasi serta ancaman demi menghilangkan semua saksi mata. The Ain’t Right beserta Amber mencari jalan
keluar dari Green Room, dan tempat
kelompok skinhead garis kiri tersebut
tentunya. Di sisi lain Darcy dan kelompoknya mencoba mempertahankan keutuhan
komunitas dengan melenyapkan Pat dan kawan-kawannya. Ingat apa kata Darcy yang
menggambarkan komunitasnya sebagai “Movement,
not a Party”.

Melihat baik dari premis maupun sinopsisnya, Green Room mengingatkan dengan pakem
film thriller tahun 80-90’an dimana
mengisahkan sekelompok anak muda (Yang biasanya brutal) pergi ketempat asing
kemudian sebuah kejadian membuat mereka diteror oleh seseorang misterius dan
kemudian tumbang satu per satu. Namun, Green
Room nyatanya berbeda. Mr. Saulnier yang menggarap naskah sekaligus
menyutradarai film ini nampaknya ingin memberikan tontonan thriller
yang lebih realistis dan manusiawi. Bila biasanya kelompok remaja pada film thriller klasik terlihat “bodoh” dan
tergesa-gesa (Biasanya disisakan satu atau dua yang pintaran dikit) yang
kemudian dengan ikhlas mati oleh serial
killer, The Ain’t Right
diperlihatkan cukup pintar, dingin, dan terkesan “akrab” dengan kubu Darcy
walau jelas ekspresi mereka penuh dengan kepanikan dan tekanan. Awal mula
perseteruan dimulai, kubu Darcy maupun The
Ain’t Right tidak terburu-buru saling membantai, malah terjadi negosiasi antara
kedua belah pihak yang dibatasi pintu besi terkunci milik Green Room. Hingga akhirnya
kita melihat sisi lain dari keduanya. Pihak The
Ain’t Right yang terus mencari cara keluar dari masalah dan tempat tersebut
dan pihak Darcy yang ingin tak ada saksi mata dan menutup rapat-rapat
pembunuhan ini demi keutuhan komunitas. Kedua kubu ini terlihat sama, panik dan
berupaya keras mencari solusi menanggapi sebuah kasus pembunuhan.
Sejak awal penonton diberikan image bahwa The Ain’t Right
adalah kumpulan anak muda yang akrab dengan urusan illegal, agak materialistis, dan terkesan born to be wild layaknya anak-anak band beraliran punk rock. Namun, karakternya mendadak
jomplang ketika mendapati sebuah kasus kematian, mereka terlihat kocar-kacir
dan sangat panik. Terlebih ketika beberapa kali berteriak dari dalam Green Room bila hanya ingin membuka
pintu bila ada polisi. Momen-momen tersebut membuat kesan brutal ala pukn rock-nya hilang. Awalnya ini
mengganggu hingga sebuah pertanyaan yang ditanyakan kedua kalinya mengenai
musisi Punk/Metal favorit mereka menjelang klimaks film kembali dilontarkan,
jawaban mereka mampu sedikit menjelaskan serta mengobati ketidaknyamanan saya.
Adanya nama Patrick Stewart dalam jajaran cast jelas menjadi sorotan saya sejak
melangkah menuju pertunjukan Green Room.
Keputusan Saulnier menggunakan “kekuatan” sang “Professor X” dari X-Men ini
jelas menambah nilai komersial dari Green
Room dibanding Blue Ruin. Lalu
bagaimana performa beliau? Patrick Stewart mampu memberikan nyawa dalam
karakter Darcy sebagai pemimpin komunitas yang dingin serta penuh loyalitas terhadap
kelompoknya. Darcy tak terlihat menakutkan layaknya villain utama dalam sebuah
film thriller, tapi dibuat manusiawi.
Paruh kedua film mulai memberikan ruang lebih banyak terhadap karakter Darcy.
Patrick Stewart mampu memberikan kesan pemimpin yang tegas namun tetap dingin,
walau tak dipungkiri terlihat panik dan ada rasa takut diwajahnya. Tetapi man of the show dalam Green Room patut dipersembahkan kepada Brit
Imogen Poots yang berperan sebagai Amber. Dengan muka yang cantik dan manis
dibalut busana khas gadis subkultur skinhead,
Amber mampu tampil Badass dibanding
personil The Ain’t Right terutama
setelah babak kedua film.

Seperti tertera dalam judul, Green Room punya lingkup penceritaan yang hampir 95% film terjadi
di lingkungan bar skinhead milik
Darcy. Dengan setting yang cukup sempit ini, Green Room mampu tampil sesak dan mencekam dengan drama yang
bergulir melalui dialog antar karakternya maupun rentetan aksi kejar-kejaran
khas kucing dan tikus. Aroma thrillernya
cukup intense, walau berjalan cukup
perlahan dan terkesan “lurus”, namun fase kedua film ini tepatnya ketika The Ain’t Right dan Amber memberanikan
diri keluar, tensi dari Green Room
perlahan naik. Dibutuhkan sedikit kesabaran untuk menikmati film ini, terutama
diawal-awal film. Ketika rentetan adegan kekerasan dan gore mulai muncul, potensi untuk Green Room tampil menggila dan membuat penonton tercengang sangat
besar. Namun, sensor Green Room di
Indonesia agak kurang asik. Beberapa adegan gore
jadi terlihat aneh dan “kentang”. Padahal berpotensi membuat penonton
menjerit-jertit “keasikan”. Karena sensor inilah keseruan Green Room sedikit terganggu, tak seperti kala melihat rentetan
adegan gore dalam film You’re Next karya Adam Wingard beberapa
tahun lalu. Kembali lagi, walau tak mengganggu dari segi penceritaan, sensor di
film ini jelas mengurangi kenikmatan dalam menonton Green Room.
Layaknya film yang melakukan World Premier di Cannes Film Festival serta diperkuat dengan basic sang sutradara adalah seorang
sinematografer, Green Room
menampilkan komposisi gambar-gambar cantik disetiap adegannya. Tata
sinematografi di tiap tiap frame disusun
rapih dan memiliki komposisi yang pas. Pemilihan grading warna dalam Green
Room yang terasa seperti salah satu filter
dalam Instagram ini memperkuat
nuansa kelam dalam film. Tak hanya aspek visual, lini audio terutama penggunaan
musik juga diperhatikan dalam Green Room.
Musik Punk Rock dalam film ini
disajikan seakan live dan tak hanya
sebagai tempelan pengisi musik latar, namun juga sebagai latar setting
penceritaan dalam Green Room. Beberapa
musisi aliran hardcore turut mengisi
barisan soundtrack Green Room seperti
Napalm Death, Poison Idea, dan Slayer. Musik-musik mereka semakin membuat
kental aroma Punk Rock Thriller dalam Green Room.
Kesimpulannya, Green
Room adalah sajian thriller
beraroma Punk Rock yang cukup intense dan mencekam. Dipresentasikan
dengan visual yang cantik, Green Room
melangkah secara perlahan, lurus kedepan, namun pasti. Treatment-nya mengingatkan dengan film thriller tahun 80’an namun dikemas sangat manusiawi dan tak
terkesan mengada-ada. Walau sedikit terganggu dengan penerapan sensor serta dialog-dialog
yang sulit dipahami, Green Room tetap
menjadi sebuah tontonan yang layak bagi penggemar genre thriller. Setelah Blue Ruin, Mr. Saulnier membuktikan akan konsistensinya
terhadap genre ini melalui Green Room.
Labels: Artikel, Film Luar, Gudang Film, Review