Oleh : Momo

Akh Tahun 2016 cukup GILA untuk ranah per-superhero-an. Begini, sepertinya kurang
bagi kreator di Hollywood untuk tetap membuat film superhero dengan ritme “Ada jagoan ketemu villain-nya, terus berantem, terus menang, kemudian muncul
sekuelnya dengan villain yang lebih
kuat”, hingga mereka melakukan sesuatu yang lebih besar. Tiba saatnya
masyarakat dunia harus ‘menelan kenyataan’ bahwa beberapa superhero idola mereka harus rela diadu untuk memuaskan keinginan
pasar, dan tentu saja demi keuntungan para production
house besar di Hollywood sana. Bulan lalu, dunia harus menerima bahwa dua Superhero hebat dari DC Comic Universe, Batman dan Superman
harus adu jotos dalam Batman v Superman :
Dawn of Justice. Syukurlah kesalah pahaman antara mereka berakhir damai
karena ada “kemiripan Martha”. Namun hanya berselang sebulan, tepatnya di
penghujung April 2016 (Di Indonesia, di US pada awal Mei), dunia kembali
dihadapkan kembali perseteruan yang berawal dari perbedaan pendapat dikalangan superhero. Bukan hanya melibatkan dua
sosok saja, namun melibatkan perseteruan antar dua kubu superhero. Melalui film ketiga dari franchaise Captain America yang bertajuk Captain America : Civil War, dua koloni superhero berkekuatan besar dari MCU (Marvel Cinematic Universe) harus beradu untuk mempertahankan
keputusan mereka.
Sebagai film ke-13 sekaligus pembuka fase ketiga dari MCU, Civil War memang berniat untuk membawa
ranah super hero Marvel ketahap yang
lebih bombastis. Tak hanya melibatkan Captain America, Civil War melibatkan hampir semua anggota The Avengers di film The Avengers : Age of Ultron, ditambah
dengan pahlawan-pahlawan baru yang membuat Civil
War layaknya The Avengers 2.5. Bila beberapa dari kalian kecewa pada seri
kedua The Avengers, maka Civil War
seakan project ‘sekalian minta maaf’ disamping
tujuan utama sebagai seri ketiga dari Captain America.

Keberhasilan MCU mewujudkan impian banyak orang dengan menyatukan
beberapa superhero dari MCU kedalam
satu frame pada tahun 2012 melalui The Avengers memang patut diapresiasi
dengan mampu memberikan kualitas yang sangat baik. Namun Civil War bukan perkara mudah, kali ini para manusia super harus ‘dipaksa’
beradu ditengah mereka pernah saling bahu membahu menyelamatkan dunia dari ancaman
musuh kuat. Perlu ada konflik yang kuat dan masuk akal agar perseteruan mereka
bisa dengan enak dinikmati. Bukan hal mudah memang, namun duet penulis naskah
Christopher Markus dan Stephen McFeely siap mengemban tugas tersebut. Naskah
mereka berdua diterjemahkan kedalam bahasa visual oleh duet sutradara Anthony
Russo dan Joe Russo (Russo Brothers) yang sebelumnya menggarap seri kedua dari
Captain America, The Winter Soldier.
Tugas berat dikerjakan dengan baik, mereka mampu memberikan sebuah film superhero yang tidak hanya memberikan
kadar aksi yang lebih tinggi dibanding film MCU sebelumnya, namun juga memiliki
konflik yang intense. Mereka memberikan unsur “menyenangkan” dari aksi saling
baku hantam dunia Superhero. Hal yang
tidak diberikan oleh Batman v Superman.
Sebuah paket film blockbuster yang
brilian (Baik aksi maupun konflik penceritaan) serta tentu saja menghibur.
Perselisihan bermula ketika PBB beserta 107 negara ingin
meresmikan perjanjian “Sokovia Accord”
dimana para manusia super akan berada dibawah PBB atau dalam artian pergerakan
mereka akan terbatas. Perjanjian ini imbas dari ‘kerusakan’ yang The Avengers
korbankan saat melindungi bumi, salah satunya Sokovia yang menjadi latar tempat
pertempuran The Avengers melawan Ultron. Kubu The Avengers terpecah menjadi
dua, Tony Stark (Robert Downey Jr.) atau Iron Man yang merasakan ‘tekanan batin’
dampak rentetan pengalaman buruk dimasa lalu memilih untuk berada di pihak
pemerintah. Sedangkan Steve Rogers/ Captain America (Chris Evans) memilih untuk
tidak menyetujui Sokovia Accord. Keputusan Captain America semakin
memojokkannya kala dia memilih untuk membela sahabat lamanya, Bucky “The Winter
Soldier” Banes (Sebastian Stan) yang dituding menjadi dalang dalam sebuah aksi
terorisme di Vienna. Perbedaan ini membuat 12 pahlawan kita terbagi menjadi dua
kubu, #TeamCaptainAmerica dan #TeamIronMan. Hebatnya, film ini memberikan sisi
yang adil. Keduanya punya keputusan yang patut dihargai. Sehingga sulit
menentukan siapa yang benar maupun yang salah karena masing-masing ada
kelebihan dan kekurangannya. Ditengah pertikaian intern dalam kubu The
Avengers, muncul pria misterius bernama Helmut Zemo (Daniel Bruhl) yang
memiliki misi tersendiri yang berkaitan dengan masa lalu Bucky.
Sokovia Accord
memecah para superhero The Avengers menjadi dua kubu. Team Captain America diperkuat oleh Bucky Banes, Falcon, Hawkeye, Scarlet
Witch, dan Ant-man, dikubu lain Iron Man didukung oleh War Machine, Vision,
Black Widow, Black Panther, dan Spiderman. Walau mereka saling baku hantam,
namun mereka melakukannya dengan niat setengah-setengah dan terkesan tidak
ikhlas. Disinilah kejelian sang kreatornya menyelipkan konflik emosional kepada
masing-masing karakter. Pada dasarnya mereka adalah teman, pernah saling
bahu-membahu dalam sebuah team. Ketika diharuskan untuk saling tikam inilah yang
terjadi. Masih terselip rasa peduli pada ‘Lawannya’. Lihat saja bagaimana Black
Widow yang tetap tak menaruh peduli dengan Captain America walau ada di kubu
Iron Man atau Falcon yang masih menghampiri War Machine yang jatuh tersungkur
ke tanah. Tak ada yang menikmati pertarungan ini, kecuali Black Panther yang
awalnya memang sangat ingin membunuh Bucky.

Civil War punya
durasi sekitar 2,5 Jam atau dalam artian banyak sekali lahan yang bisa digarap
dalam sebuah film, tapi tidak untuk sebuah film dengan assemble hero. Sejatinya Civil
War merupakan sekuel dari Captain America, namun film ini tidak hanya
sebagai film dengan satu hero dengan penampilan mengesankan secara tunggal.
Semua hero punya peran dan kesempatan untuk saling memikat penonton. Lihat saya
pertarungan di Bandara Leipzig, semua hero
saling pamer kemampuan, bahkan untuk anggota The Avengers muda. Lihat saja
bagaimana keseruan serta kejutan yang diberikan Spiderman, Ant-Man, dan Black
Panther kala bertarung sesama hero. Tak
hanya itu, pondasi skenario yang apik juga mengemas seluruh adegan aksi yang
dilakukan dalam bentuk team begitu memikat. Sehingga terlihat jelas kerja sama
antara masing-masing kekuatan yang dimiliki para superhero. Sebegitu banyaknya
karakter yang terdapat dalam Civil War
tak membuat para kreatornya kerepotan. Tak ada karakter yang sia-sia
kemunculannya, Bahkan untuk karakter villain satu-satunya di film ini, Helmut
Zero (Daniel Bruhl). Walau tak punya kekuatan super, Helmut Zero mampu
mengacaubalau dunia per-super hero-an
The Avengers.
Untuk adegan aksi tentu saja menjadi perhatian Russo
Brothers kala menggarap Civil War.
Sejak pertarungan pertama di Civil War
kala tim The Avengers sedang memburu Crossbones dan pasukannya, penonton
disuguhkan sebuah kerja sama dari Captain America cs dengan tensi yang cepat.
Walau beberapa pergerakan kamera terlalu cepat dan membuat pusing, namun adegan
ini menjadi adegan aksi pembuka yang cukup kuat dan menjadi modal penting
menikmati kelanjutan film. Pasalnya, adegan inilah yang menjadi salah satu hal
yang memperkeruh konflik perpecahan di Civil
War. Dengan adegan awal yang kuat, selebihnya adegan-adegan aksinya pun tak
kalah hebat dan mendebarkan. Hingga akhirnya adegan aksi mencapai klimaksnya di
bandara Leipzig. Telah saya sebutkan diatas semua hero punya panggungnya sendiri dalam pertarungan 6 lawan 6 ini.
Walau minim kehancuran gedung-gedung pencakar langit atau ledakan seperti film
Marvel sebelumnya, namun adegan aksi di bandara sungguh memikat. Russo Brothers
mampu menyampur adegan aksi fantastis dengan guyonan yang menghibur, sehingga
tak hanya membuat terkagum-kagum namun juga menyulut tawa penonton. Salah satu
adegan aksi terbaik dalam sejarah film superhero.
Namun setelah adegan fantastis di bandara, tensi adegan akhir di final fight
harus diakui mengalami penurunan. Bukan hanya karena hero yang terlibat
sedikit, namun juga terasa sedikit kelelahan. Walau sedikit twist dan
pertarungan yang sangat emosional membuat babak akhir Civil War tak begitu mengecewakan.

Captain America :
Civil War tak hanya mengandalkan deretan adegan aksi yang sangat disukai
penonton, tapi juga memberikan pendekatan emosional terhadap setiap karakter.
Keteguhan prinsip, pertemanan, hingga kehilangan coba dipertahankan oleh
mereka, tidak hanya perkara siapa yang menang, siapa yang kalah. Russo Brothers
menyuguhkan kisah pertarungan setidaknya 12 superhero
dengan adegan aksi yang solid, konflik yang intens, mendebarkan, cerdas, serta
tak lupa bagaimana menghibur penonton. Captain
America : Civil War tersaji dengan sangat segar dan mengemas semua yang
penonton inginkan untuk sebuah film musim panas. Sekali lagi MCU mengulang
kesuksesannya, dan pundi-pundi dollar pun siap diraup oleh mereka. Sebagai
trilogi, mulai dari The First Avenger,
The Winter Soldier, hingga kini Civil War, trilogi Captain America-lah
yang paling konsisten dari segi kualitas di MCU. Dan bisa saya sebut sebagai
salah satu trilogi superhero terbaik yang pernah dibuat, tentu saja selain trilogi
The Dark Knight milik Christopher
Nolan. Civil War membuka fase ketiga
MCU dengan fantastis.
Labels: Captain America Civil War, Film Luar, Marvel, Review