Oleh : Momo
Gudang Film - Film Indonesia tidak hanya film panjang yang tayang di
bioskop. Pemahaman yang sebenarnya harus dipahami oleh masyarakat (terutama
pemerintah) bahwa banyak sineas yang “bermain” atau bergerilya di “ladang” lain
seperti film pendek, dokumenter, ekperimental, arthouse, dan sebagainya. Salah satu bentuk dukungan terhadap film
pinggiran (Mengambil istilah dari Alm. Gotot Prakosa) terutama film pendek, Cinema
XXI sebagai eksibitor terbesar di Indonesia tak sungkan menggelontorkan dan CSR-nya
untuk mendukung film pendek Indonesia melalui XXI Short Film Festival yang rutin digelar
tiap tahunnya sejak 2013. Tujuannya mencari bibit-bibit muda yang nantinya akan
meneruskan industri film Indonesia. Dan tentu saja memberikan kesempatan kepada
masyarakat menyaksikan film-film pendek baik yang dikompetisikan maupun
film-film pendek terpilih dari dalam dan luar negeri di layar lebar.
Ditahun keempatnya, XXI Short Film Festival 2016 berbeda
dari tahun sebelumnya dengan adanya kategori tambahan. Melihat begitu banyaknya
film bergenre action, thriller, dan fantasy yang mendaftar di XXI Short Film
Festival sebelumnya, pihak penyelenggara berinisiatif memecah dua kategori
Fiksi menjadi kategori Film Pendek Fiksi Drama/Comedy
dan Film Pendek Fiksi Action/Thriller/Fantasy. Sehingga
ditambah dengan kategori Film Pendek Dokumenter dan Film Pendek Animasi, total ada 4 kategori yang diperlombakan. Antusiasme
para sineas film pendek untuk mendaftarkan karyanya sangat luar biasa.
Terhitung 545 film terdaftar tahun ini, namun hanya 25 film yang terpilih
menjadi finalis. XXI Short Film Festival sendiri berlangsung selama 5 hari dari
16-20 Maret 2016 di Epicentrum XXI.
Di penghujung rangkaian acara pada Minggu 20 Maret 2016
diumumkan para pemenang XXI Short Film Festival 2016 dari 4 Kategori. Total ada
8 film (Plus satu special mention) yang berhasil keluar sebagai pemenang. Film
para pemenang XXI Short Film Festival 2016 dijadikan satu kompilasi dan diputar
di beberapa bioskop mulai 14 April 2016. Berikut adalah ulasan singkat
Kompilasi Pemenang XXI Short Film Festival 2016.
Pancasonya (Muhammad
Ihsan Fadli, 20 min, Pemenang kategori Film Pendek Fiksi Action/Thriller/Fantasy Pilihan Media)
Tragedi 1965 tak hanya menjadi catatan kelam negeri ini,
namun juga sumber inspirasi bagi para sineas. Melalui riset (Atau kisah dari
mulut ke mulut), beberapa sineas menggunakan peristiwa ini sebagai latar
belakang bercerita dalam karya mereka. Sebut saja Klayaban (Farishad I. Latjuba, 2005) yang mengangkat kisah eksil di luar negeri. Begitupun
sutradara muda Muhammad Ihsan Fadli yang menggunakan sudut pandang seorang
korban kekerasan ’65 dalam sebuah film pendek
fiksi fantasi berjudul Pancasonya.
Berkisah mengenai seorang pria tertuduh komunis yang mempelajari ilmu kebal
untuk menuntut balas atas kematian istrinya oleh sekelompok orang. Namun ada
harga yang mahal untuk sebuah aksi balas dendam. Walau berhasil menuntut balas,
sebuah kejadian membuatnya tetap tidak bisa untuk ikhlas.
Sebagai film pembuka dari kompilasi pemenang XXI Short Film
Festival 2016, Pancasonya berhasil
menyuguhkan sebuah tontonan dengan teknis sangat baik. Terlihat bagaimana sang
sutradara dan DOP-nya berani bereksplorasi dengan teknis pengambilan gambar. Walau
terlihat kasar, namun efek kepala putus lalu menyatu lagi masih sangat relevan
dengan filmnya. Komposisi gambarnya juga cantik dan mampu mengeksploitasi
keindahan latar tempat film ini. Ceitanya mengalir runut dengan penampilan cast
yang memiliki kemampuan akting yang baik.
Perlu diketahui, versi Pancasonya
yang ada di kompilasi XXI Short Film Festival 2016 berbeda dengan versi Viddsee
dari segi editing. Penulis lebih menyukai versi Viddsee karena adegan fighting satu lawan delapan orang dibuat
long take dan visualisasinya sangat
intense. Mengingatkan dengan adegan fighting
di film oldboy versi original. Mungkin ada beberapa
pertimbangan, salah satunya demi ‘keamanan’ penonton karena adegan fighting-nya cukup keras walau pengambilan
gambarnya tak terlalu detil.
Nilep (Wahyu
Agung Prasetyo, 9 min, Pemenang Kategori Film Pendek Fiksi Drama/Comedy Pilihan Media)
Seperti yang pernah diutarakan oleh program director XXI Short Film Festival 2016, Nauval Yazid, bahwa
kencendrungan atau menjadi trend film
yang didaftarkan ke XXI Short Film Festival 2016 salah satunya penggunaan cast
anak-anak. Begitupula dengan film asal Yogyakarta berjudul Nilep (Mengutil). Sebelum
memenangkan Kategori Film Pendek Fiksi Drama/Comedy
Pilihan Media di XXI Short Film Festival 2016, Nilep pernah memenangkan
beberapa penghargaan diantaranya sebagai
Film fiksi pendek pelajar dan film fiksi pendek pilihan juri di Acffest (Anti
Coruption Film Festival) tahun 2015.
Korupsi dan kejujuran dalam konteks sehari-hari menjadi
latar belakang kisah dalam Nilep. Sekumpulan
anak kecil sedang berkumpul di pos ronda. Diantara mereka ada yang menanti
abang tukang mainan untuk bermain lotre. Ketika si abang datang, salah satu
dari mereka mencuri gigi drakula mainan dengan niat hanya sekedar seru-seru-an.
Namun tindakan itu menyulut perdebatan diantara mereka yang berakhir saling
menyalahkan dan menyudutkan.
Menuturkan pesan dengan cara sederhana dan dekat dengan kehidupan sehari-hari masih dirasa formula jitu kala menggarap film dengan isu mengenai korupsi. Melalui pola tingkah 4 anak dalam Nilep, penonton diajak tertawa sekaligus berkaca dengan tingkah pola serta keluguan anak-anak menyikapi sebuah kata jujur. Lucu dan sederhana namun mengena, adalah kata yang tepat rasanya mendeskripsikan apa yang tersaji dalam Nilep.
Kapur Ade (Firman
Widyasmara, 5 Min, Pemenang Kategori Film Pendek Animasi Pilihan Media, dan Film Pendek Animasi
Terbaik)
Bila tahun lalu film fiksi pendek karya Wregas Bhanuteja
berjudul Lemantun dan dokumenter
pendek Digdaya Ing Bebaya karya BW
Purba Negara yang mendapat lebih dari satu penghargaan, pada tahun ini yang
mendapat lebih dari satu penghargaan jatuh pada kategori animasi. Kapur Ade merupakan film animasi karya Firman
Widyasmara yang memenangkan kategori Film Pendek Animasi baik menurut Juri media
maupun juri official. Berkisah
mengenai dua bersaudara yang bermain di jalanan dengan memanfaatkan 180 detik
waktu lampu merah. Sebuah arena bermain bernama jalanan beserta penuh sesak
kemacetannya dimana setiap sudutnya terdapat kegembiraan sekaligus bahaya bagi
kedua bersaudara tersebut.
Teknis dalam Kapur Ade
mengingatkan penulis dengan goresan kuas dalam film animasi My Neighbor The Yamadas (Isao Takahata,
Japan, 1999) namun dengan proses pembuatan melalui digital bukan manual. Dengan
pilihan warna yang cenderung soft dan karakter gambar yang tak terlalu rapih (In a good way) yang terkesan seperti
gambar sketsa yang kemudian diolah dengan cara yang unik membuat secara visual Kapur Ade sangat memikat. Dari segi
penceritaan sebenarnya sangat sederhana. Melalui dua karakter anak dalam film
ini penonton diajak untuk bersenang-senang dengan segala kesemrawutan dan
kemungkinan di lampu merah ibukota yang penuh kendaraan serta elemen lain
disekitarnya. Jelas sekali apa yang divisualkan dalam Kapur Ade sangat Indonesia sekali terutama di kota-kota besar kala
memperlihatkan landscape kota beserta
isi di lampu merahnya. Dengan modal inilah animasi 2D ini mampu bersaing dan
tampil perkasa diantara nominator yang lain (Yang beberapa adalah animasi 3D).
Kesan Pertama (M.
Iskandar Tri Gunawan, 30 Min, Pemenang Kategori Film Pendek Dokumenter Pilihan
Media)
Setelah menjelajah di tiga kategori melalui tiga film
diawal, akhirnya kategori dokumenter pertama dalam kompilasi ini pun muncul
sebagai film deretan keempat. Kesan
Pertama, dokumenter karya M Iskandar Tri Gunawan ini akan menceritakan
permasalahan dialami oleh keluarga kecil Zarkoni perihal kesehatan dua buah
hatinya. Zarkoni beserta istri dirudung dilema dan tidak tega kala dua buah
hati mereka, Salma dan Taqi, yang memiliki masalah kurang nafsu makan dan pilek
harus beralih dari obat kimia ke cara tradisional, jamu cekok. Sebuah
pengalaman mencicipi resep tradisional jamu cekok sambil bernostalgia bersama
si empunya jamu cekok.
Idenya sangat menarik dengan mengangkat kekayaan serta
warisan budaya lokal. Pendekatannya juga menarik dengan sudut pandang keluarga
Zarkoni dengan sesekali berpindah ke Master jamu cekok Jampi Asli Kulon Kerkop.
Sangat disayangkan durasi terlalu panjang dan terkesan tidak efektif. Beberapa
kali sang sineas dirasa kurang bijak untuk memilah footage sehingga dirasa beberapa adegan tidak perlu. Namun harus
diakui sekitar 10 menit akhir adalah momen terbaiknya ketika penonton diajak
untuk melihat adegan anak kecil “disiksa” dengan jamu cekok. Hal lain yang
menggangu adalah dari segi teknis beberapa kali sang kameramen mengganti
pengaturan cahaya kala film sudah take. Bagi saya sih jelas ganggu walau tak
mempengaruhi penyampaian isi dari film.
Sugih (Makbul
Mubarak, 10 Min, Pemenang Kategori Film Pendek Fiksi Action/Thriller/Fantasy Terbaik)
Tahun lalu menjadi juri Media, tahun ini menjadi salah satu
finalis dan finish menjadi pemenang di kategori Fiksi Action/Thriller/Fantasy Terbaik. Melalui Sugih, Makbul Mubarak berhasil merebut perhatian Juri official dan menjadi pemenang kategori
tersebut. Sugih berkisah mengenai
sepasang suami istri, Ahmat dan Sugih yang menempuh jalur ritual misterius
untuk membayar hutang sewa kontrakannya.
Sugih menjadi salah satu film pendek dengan adegan KDRT
paling romantis yang pernah penulis tonton. Setiap adegan penyiksaan yang
mereka lakukan dengan sendiri maupun satu sama lain terkesan penuh perjuangan
untuk terus bersama dan melengkapi satu sama lain. Kehidupan beberapa orang
yang beragama serta taat beribadah namun tetap percaya dan bergantung pada
hal-hal berbau klenik di era serba modern ini coba disindir dalam Sugih. Penuturan serta teknisnya tak
macam-macam, cukup sederhana namun tepat sasaran. Sugih mampu menunjukan informasi satu lagi ritual untuk memperkaya
diri di dunia perklenikan Indonesia.
Bibi Siti Switi
(Cyntia Natalia, 18 Min, Pemenang Kategori Film Pendek Dokumenter Terbaik)
Memasuki film dokumenter kedua dalam kompilasi ini. Bila persis
sebelumnya penonton menyaksikan karya dari sang dosen (Makbul Mubarak), kini
penonton disajikan oleh film karya mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara
bernama Cyntia Natalia. Bibi Siti Switi
bercerita mengenai kehidupan percintaan
dari seorang pembantu rumah tangga bernama Bibi Siti. Sudah lebih dari satu
kali menjadi janda tak membuat Bibi Siti jera. Dia sedang menyeleksi beberapa
pria dan memilih yang terbaik untuk dijadikan kekasih dunia-akhiratnya.
Sangat terhibur mengikuti kisah cinta yang dituturkan oleh
Bibi Siti. Keluguan dan sudut pandangnya mengenai cinta, hubungan, pernikahan,
dan perceraian dikemas dengan baik. Lagu Rita Sugiharto-Pacar Dunia Akhirat tak hanya menghias namun juga punya peran
penting. Setiap lagu itu muncul, ada teks khas VCD karoke dangdut. Ide editing
dan penyajiannya fresh namun sebagai dokumenter isu yang dinaikan dalam Bibi Siti Switi kurang mendalam.
Akhirnya penonton hanya tertawa dengan pola tingkah dan ucapan Bibi Siti tanpa
ikut berempati dengan apa yang “menimpa” beliau. Namun, ini salah satu film
dokumenter paling menghibur yang pernah saya tonton. Kontemporer banget.
Sandekala (Amriy
Ramadhan, 9 Min, Pemenang Kategori Film Pendek Favorit Pilihan Penonton)
Di Indonesia, banyak mitos berbau mistis menghinggapi waktu
Maghrib. Menurutnya, waktu Maghrib adalah waktu dimana roh halus (Atau setan)
mengganggu manusia. Mitosnya beragam, mulai dari hantu kolong wewe yang suka
menculik anak-anak hingga setan keder yang gemar membuat orang tersesat. Yang
terakhir mungkin menjadi sumber inspirasi dari Amriy Ramadhan ketika membuat Sandekala. Kisah yang dituturkan Sandekala tergolong simple, seorang Ibu muda dan anak perempuannya mengalami peristiwa
ghaib ketika hendak pulang di kala Maghrib. Namun, cerita simple tersebut digarap sangat baik, lebih baik dari kebanyakan
film horor lokal akhir-akhir ini.
Tak perlu banyak dialog serta banyak penampakan dari setan
narsis disana-sini untuk membuat Sandakela
menyeramkan. Atmosfer sebuah wilayah padat namun sepi serta gang-gang yang
sempit cukup membuat sesak kala menonton film ini. Pace film yang tergolong cepat tanpa basa-basi ditambah scoring yang turut mencekam membuat
andrenalin cukup diuji. Tone warna yang agak biru serta permainan sinematografi
juga turut andil membuat atmosfir semakin horor. Ditambah twist singkat namun dalam diakhir film, wajar Sandakela menjadi favorit dari penonton. Beruntung saya mendapat
pengalaman menonton Sandakela di layar lebar.
Semalam Anak Kita
Pulang (Adi Marsono, 12 Min, Pemenang Kategori Film Pendek Fiksi Drama/Comedy Terbaik)
Seperti tahun-tahun sebelumnya. Kompilasi pemenang XXI Short
Film Festival selalu ditutup oleh pemenang kategori film pendek Fiksi . Dan
pada tahun ini film pemenang kategori Drama/Comedy
Terbaik didaulat sebagai klimaks. Semalam
Anak Kita Pulang karya Adi Marsono merupakan film pendek yang diproduksi
oleh Four Colours Film, sebuah rumah produksi yang menggarap Siti, film terbaik FFI 2015. Film yang
mengisahkan kerinduan seorang ibu akan kepulangan anaknya yang pergi ketempat
yang jauh dan tak pernah memberi kabar.
Semalam Anak Kita
Pulang tersaji tenang, syahdu, namun dalam. Tanpa banyak dialog atau
ekspresi berlebih, penonton akan merasakan kerinduan sekaligus penyesalan dari
seorang Ibu paruh baya. Ada pencapain emosional ketika penonton turut merasakan
apa yang dirasa oleh sang Ibu, tatkala kabar dari sang anak jauh lebih berharga
dari uang. Didukung oleh pemeran yang berkualitas, narasi yang ingin
disampaikan ke penonton pun mengalir dengan sendirinya. Sinematografi yang
cantik mendukung tampilan visual dalam film ini. Kembali saya ucapkan, Semalam Anak Kita Pulang tersaji tenang
namun dalam.
Kesimpulan
Dari tahun ke tahun, XXI Short Film Festival masih menjadi
ladang favorit bagi sineas film pendek untuk unjuk gigi melalui karyanya.
Begitupun tahun ini, dari segi kualitas para nominasi bersaing ketat untuk jadi
pemenang. Walau sudah dibagi menjadi dua kategori, kategori fiksi masih akan
membuat juri bingung kala memilih siapa yang layak menjadi pemenang. Film-film
seperti Pangreh, Langit Masih gemuruh, dan The
Flower and The Bee yang memiliki kualitas sangat baik namun gagal bersaing
dikategori fiksi (Kecuali The Flower and
The Bee yang mendapat special mention
dari juri). Namun begitu, ketatnya persaingan menjadi indikator berkembangnya
film pendek di Indonesia. Bila diperhatikan, ada satu kemiripan dari 8 film
dalam kompilasi XXI Short tahun ini, yaitu local content yang terasa baik dari
segi budaya maupun kehidupan masyarakat indonesia sehari-hari. Melihat kualitas
film pendek pada kompilasi XXI Short Film Festival 2016 kita harusnya bangga
karena bergerak ke arah yang lebih baik.
Labels: Artikel, FILM INDONESIA, Gudang Film, Review