Review Oleh: Momo
Gudang Film - Ayah pergi
bekerja mencari nafkah dan Ibu mengurus anak serta kebutuhan rumah tangga di
rumah. Ya, itulah pandangan yang cukup ‘kuno’ namun masih dianut oleh banyak
sekali manusia, terutama di Indonesia mengenai pembagian tugas di keluarga,
antara suami dan istri. Walau tak sepenuhnya salah, batasan ini kerap
menimbulkan sebuah gap terhadap
masing-masing tugas, baik istri maupun suami. Kadang timbul sikap iri hingga
meremehkan karena mengganggap perannya paling berarti dibanding apa yang
dilakukan pasangan. Kurangnya pemahaman dampak dari komunikasi yang buruk
membuat batasan tersebut malah mengganggu jalannya sistem dalam berkeluarga.
Seperti contoh, suami asik bekerja hingga sama sekali tak paham apa-apa mengenai
anaknya beserta kesehariaanya. Lika-liku jalinan seorang Ayah yang cenderung
asik bekerja kemudian mendapat ‘anugrah’ untuk lebih memahami anak-anaknya
melalui quality time dadakan selama 2 minggu-lah yang coba dituturkan melalui Super Didi.
Arka (Vino G
Bastian) merupakan seorang arsitek muda sekaligus ‘Didi’ (Ayah) dari dua orang
putri yang lucu, Anjani (Anjanique Renney) dan Velia (Avelia Reyna). Meski
sangat mencintai kedua putrinya, Arka harus disibukkan dengan pekerjaannya yang
membuat tugas mengasuh anak-anak dilimpahkan kepada Muti (Ibu)-nya, Wina
(Karina Nadila). Hingga suatu kejadian
memaksa Wina harus pergi ke Hong Kong selama dua minggu dan meninggalkan kedua princess-nya bersama Arka. Disaat bersamaan, Arka ditunjuk
menjadi pimpinan project bernilai
Triliunan Rupiah dan harus diselesaikan dalam 2 minggu juga. Dan dimulailah quality time seru antara seorang ayah
dengan dua putri mungilnya. Arka harus membagi waktu antara pekerjaan dan
anak-anaknya. Mengerjakan project
sambil mengantar sekolah, menemani les
balet, belajar mengepang rambut, hingga jadi objek latihan pentas teater
anaknya.

Super Didi rilis
bertepatan dengan hari Kartini, dimana beberapa orang menganggap sebagai
tonggak kesetaraan antara pria dan wanita. Menarik ketika konteks kesetaraan
ini disampaikan bukan dari perspektif wanita, melainkan dari sudut pandang
pria. Ya memang saya terkesan menyambung-nyambungkan, namun ketika seorang pria
seperti Arka yang biasa mengerjakan tanggung jawabnya mencari nafkah harus double job juga sebagai pengasuh kedua
orang putrinya, menurut saya juga bagian dari hasil kesetaraan gender yang
diperjuangkan Kartini. Super Didi jelas memperlihatkan tak ada
pengkotak-kotakan jobdesk dalam
berkeluarga. Baik pria maupun wanita, Ayah atau Ibu, Didi atau Muti.
Bila
disederhanakan, jalinan kisah dalam Super
Didi ialah “Bagaimana jika seorang Ayah mengurus dua putrinya seorang diri
kala ditinggal pergi Ibunya disaat tanggung jawab kerjaan harus tetap jalan?” .
Plot tersebut berhasil digarap dengan seru oleh duet sutradara Hadrah Daeng
Ratu dan Adis Kayl Yurahmah. Bermodal skrip garapan Budhita Arini, duet
Hadrah-Adis mampu menyajikan tontonan yang seru dan tampil apa adanya. Bila
melihat dari plotnya, sebenarnya Super
Didi sangat “patuh” terhadap alur atau ritme dari film-film sejenis. Tak
ada sesuatu hal baru yang disuguhkan dan cenderung main aman. Hasilnya, sejak
konflik deadline kerjaan dua minggu
serta pementasan teater ‘Timun Mas’ yang juga akan berlangsung dua minggu
kedepan, penonton akan dengan mudah menebak apa yang terjadi di akhir film.

Walau mampu
memprediksi klimaksnya, nyatanya tidak mengurangi kenikmatan dalam menonton
Super Didi. Part by part dalam Super
Didi dipresentasikan dengan hangat, ringan, jenaka, dan tentu saja seru.
Kembali lagi bermain aman dalam hal alur film tak sepenuhnya buruk. Dengan
menggunakan momen-momen sehari-hari khas kehidupan keluarga menengah keatas, Super Didi menghasilkan sebuah tontonan
yang down to earth baik secara dialog
maupun adegan. Chemistry dibangun melalui
potongan-potongan kegiatan (lebih tepatnya kerepotan) sang ayah bersama anaknya
melalui hal-hal kecil seperti menonton DVD bersama, makan bersama, mengantar
sekolah, menemani les, dan latihan teater. Konfliknya pun tak memaksakan dibuat
rumit, lebih kepada permasalahan manajemen waktu Arka membagi antara anak dan
pekerjaan. Toh, kalaupun dibuat rumit, Super
Didi malah akan terlihat memaksakan. Konflik biasa aja, klimaks mudah
ketebak, lantas apa yang membuat Super
Didi tetap nikmat ditonton? Keseruan yang diciptakan melalui interaksi
antara Ayah dan anak-anaknya.
Setiap keseruan
dan kehangatan dalam Super Didi tak
lepas dari penampilan para cast-nya
yang tampil total. Vino G Bastian sekali lagi membuktikan kalo dia adalah aktor
yang hebat dan pemeran karakter Ayah yang hebat pula. Pasca kesuksesannya
menjadi seorang ayah dalam Tampan Tailor,
Kali ini dalam Super Didi Vino
kembali tampil sangat mendalami perannya. Di Super Didi, Vino tak hanya dituntut berakting bagus, namun juga
lucu. Hasilnya, Vino mampu tampil sebagai ayah yang sangat bertanggung jawab
baik dengan keluarga maupun pekerjaannya. Vino mampu tampil all out baik di adegan komedi, maupun
drama penuh emosional seperti pada adegan klimaks. Namun yang terpenting adalah
Vino mampu menjalin chemistry dengan
dua pemeran anaknya, Anjani dan Velia. Vino mampu melakukan pendekatan yang
baik sehingga dua putri cantik tersebut nyaman beradu peran dengannya dan
seperti menganggap Vino ayah sebenarnya. Kembali , karakter Vino sebagai Didi
sangat mudah sekali disukai penonton dan sosok Didi bisa menjadi sosok suami
ideal sekaligus impian para wanita muda siap nikah yang menonton Super Didi.

Pemeran dua
putri cantik Arka, Anjani dan Velia walau terlihat lucu dan menggemaskan, namun
dibeberapa adegan terlihat sangat tidak natural dan terasa ‘di-direct’ sekali. Ada sedikit maklum
mengingat usianya yang masih sangat dini, namun sangat disayangkan beberapa
adegan lucu serta drama klimaks seharusnya bisa lebih optimal lagi. Yang paling
ganggu saya si ketika adegan klimaks Vino sudah terlihat lusuh penuh tangis
haru campur bangga namun Anjani hanya duduk celingak-celinguk. Porsi Anjani
yang lebih banyak juga menutup penampilan Velia yang jadinya hanya terkesan
tempelan mengingat dialognya yang tak terlalu banyak walau sering tampil. Namun,
baik Anjani dan Velia tampil dengan batasan yang pas sehingga tidak terkesan annoying serta chemistry mereka dengan Vino patut diberi apresiasi lebih. Cast lain seperti pemeran Muti, Karina
Nadila walau tampil tak sebanyak suami dan anak-anaknya namun mampu memberi
penampilan yang baik dan punya peran penting dalam cerita. Dua pasangan lain
yang terdapat dalam Super Didi juga
mampu memberikan rasa lain dalam film. Mathias Muchus-Ira Maya Shopha sebagai
Opa dan Mayang walau sedikit-sedikit muncul namun mampu menarik perhatian dan
tawa melalui tingkah laku mereka diusia tua. Pasangan Verdi Solaiman-Patty
Sandya mampu memberikan perspektif serta gambaran lain mengenai sebuah
hubungan.
Sebagai film
pertama dari Multi Didi Film, Super Didi
memberikan sebuah drama keluarga yang ringan berbalut komedi yang mengalir apa
adanya. Duet sutradara Hadrah-Adis mampu mempresentasikan Super Didi dengan seru tanpa embel-embel drama serta konflik yang
berlebihan. Sebuah gambaran yang cukup jujur mengenai kehidupan keluarga muda
nan kecil menengah keatas. Namun yang mengganjal di hati saya, Super Didi hanya mampu menyuguhkan
kedekatan sekaligus kehangatan Ayah dan kedua anaknya, tanpa memberi porsi
lebih untuk membangun chemistry pula antara ayah-ibu-anak agar bisa merasakan
kehangatan keluarga secara utuh. Tetapi secara keseluruhan Super Didi mampu memberikan sebuah tontonan keluarga yang seru dan
menghibur.
Labels: FILM INDONESIA, Review