Oleh : Hijau
Dari semua cabang seni, film dapat dikatakan
paling banyak mempengaruhi kehidupan manusia modern. Seorang kritikus film
pernah berpendapat film dapat membawa manusia “closer to heaven or closer to hell, lebih dekat ke surga atau lebih
dekat ke neraka”. Yang dimaksud ialah bahwa film yang baik dapat mempunyai
pengaruh yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia, umpamanya dibidang
pendidikan pendidikan, penerangan dan hiburan yang sehat, juga seni. Sebaliknya
film buruk, misalnya film-film yang menonjolkan sex and violence (Porno dan kekerasan), dapat merangsang
nafsu-nafsu kebinatangan dan membawa kita ke jalan yang sesat. Dengan lain
perkataan : Pengaruhnya tergantung pada cara penonton memakainya : bisa
positif, bisa negatif, konstruktif dan destruktif (Gayus Siagian, 2010, hal. 1).
Menurut Undang-Undang
Republik Indonesia nomor 8 tahun 1992 menyatakan bahwa film adalah karya cipta
seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang
dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita
video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dengan
segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik,
atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan
dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan/atau
lainnya.
Gaylene Preston, seorang sutradara
asal New Zealand mengaitkan film dengan masa awal kehidupan manusia dimana
orang-orang berkumpul pada gelap malam lalu menyalakan api unggun untuk
mendengarkan dongeng. Bioskop adalah api unggun modern dan penonton pergi
keruang gelap bioskop dan duduk dalam terang untuk menikmati dongeng dalam
bentuk cerita dalam film. Sebagai seni mendongeng audio visual, Film adalah
media komunikasi yang kaya dengan implikasi sosial, dibuat dalam perbedaan
sosial, sejarah, dan konteks budaya.
Mengutip salah satu dialog paling
berkesan dalam film Janji Joni (2005), “ Film. Mungkin anugerah seni terbesar
yang pernah dimiliki manusia”. Kalimat yang terucap oleh karakter Joni
(Nicholas Saputra) ini menggambarkan betapa besar pengaruh film dalam kehidupan
manusia, khususnya dibidang seni. Garin Nugroho, filmaker ternama Indonesia,
pernah menyatakan bahwa film adalah kesenian terakhir yang mencangkup 6 cabang
kesenian lainnya ditambah teknologi dan teknik pemasaran (Ekky Imanjaya, 2006, hal. 13). Dalam film Janji Joni diperlihatkan bagaimana pengaruh
film dalam kehidupan manusia melalui visualisasi gaya yang komikal dan
dilebih-lebihkan. Suka atau tidak, film menjadi sarana yang penting dan
ditonton oleh banyak orang.
Cikal bakal film lahir ketika ilmuwan
besar Thomas Alva Edison pada tahun 1884 kala beliau terinspirasi untuk membuat
alat yang mampu merekam dan memproduksi gambar. Dengan dibantu oleh George
Eastman, pada tahun 1887 menemukan pita film (Seluloid) yang terbuat dari plastik tembus pandang. Pada tahun
1891, Eastman dibantu dengan Hannibal Goodwin memperkenalkan satu rol film yang
dimasukkan kedalam kamera pada siang hari. Alat yang dirancang dan dibuat oleh
Thomas Alva Edison tersebut diberi nama
kinetoskop (Kinetoscope). Kinetoskop
berbentuk kotak berlubang untuk menyaksikan atau mengintip suatu pertunjukkan.
Gambar pertama yang ditayangkan pada alat kinetoskop adalah perempuan menari,
pertunjukan binatang, dan sekelompok lelaki sedang bekerja.

Ketika kinetoskop
dipertunjukkan di Paris pada tahun 1894, dua bersaudara, Auguste dan Louis
Lumière yang saat itu bekerja di studio fotografi milik ayahnya, tertarik ikut
mengembangkan kinetoskop milik Edison. Pada 13 Februari 1895, Lumière
bersaudara mempatenkan temuannya bernama cinematographe
yang merupakan awal mula penyatuan kamera dengan projector. Cinematographe dipertunjukkan untuk umum
pada 28 Desember 1895 di Grand Cafe Boulevard de Capucines, Paris dengan memutar film berjudul Workers Leaving the Lumière Factory.
Film tersebut menggambarkan suasana ratusan orang keluar meninggalkan sebuah
gerbang. Film Workers Leaving the Lumière Factory karya
Lumière bersaudara disepakatai sebagai film pertama didunia dan peristiwa di
Grand Café menjadi cikal bakal dari konsep ruang menonton bernama bioskop (Ronald Bergan, 2011, p.13).
Perkembangan film ikut membawa perkembangan
ruang menonton, atau kini dikenal dengan nama bioskop. Bioskop pertama dibangun
di Amerika Serikat dengan sebutan nickelodeon.
Nickelodeon merupakan gabungan dari dua kata yaitu nikel atau 5 sen dan
odeon yang merupakan bahasa Yunani dari gedung pertunjukan. Sehingga, nickelodeon adalah gedung pertunjukan
untuk menonton film dengan harga tiket masuk sebesat 5 sen. Antusias masyarakat
sangat besar terhadap nickelodeon sehingga pada tahun 1907 rata-rata 2 juta
masyarakat Amerika Serikat datang ke bioskop dan tahun 1908 jumlah bioskop di
Amerika Serikat mencapai sekitar 8000
gedung nickelodeon.

Di Indonesia, film pertama kali
diperkenalkan pada 5 Desember 1900 di Batavia (Jakarta). Pada masa itu film
disebut Gambar Idoep. Pertunjukkan film pertama digelar di Tanah Abang dengan
menayangkan film dokumenter perjalanan Raja Hertog Hendrick dan Ratu Olanda
asal Belanda di Den Haag. Namun pertunjukan kurang sukses dan pada tanggal 1
Januari 1901, harga karcis dikurangi 75% untuk merangsang minat penonton
(Ismail Fahmi Lubis, 2009).

Kiprah perfilman Indonesia sendiri dimulai sejak tahun 1926 lewat Loetong Kasaroeng sebagai film layar
lebar pertama yang diproduksi di Indonesia. Mulai dari era gambar idoep hingga
masa kemerdekaan, industri film Indonesia dikuasai oleh bangsa Belanda dan
Tiongkok. Film-filmnya pun lebih banyak mengangkat kehidupan sehari-hari dan
film bertema propaganda. Hingga pada tahun 1950-lah film Darah dan Doa karya Usmar Ismail dijadikan momentum lahirnya film
nasional dimana seluruh orang yang terlibat dalam penggarapan film ini
merupakan orang asli Indonesia. Hari pertama produksi film Darah dan Doa pada tanggal 30 Maret 1950 dijadikan Hari Film
Nasional dan diperingati tiap tahunnya.
Sumber :
Bergan, Ronald. 2011. The Film Book. London: Dorling Kindley
Limited.
Imanjaya,
Ekky. 2006. A To Z About Indonesian Film.
Bandung: Mizan Media Utama.
Ismail
Fahmi Lubis. Indonesian Cinematique. Diakses 22 Juli 2015.
http://indonesiancinematheque.blogspot.co.id/
Siagian,
Gayus. 2010. Sejarah Film Indonesia.
Jakarta: Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta.
Labels: #History, Artikel, Film, FILM INDONESIA